Selasa, 21 Desember 2010

PENDEKATAN KONSTRUKTIVISTIK DALAM PEMBELAJARAN

TUGAS
RESUM PENDEKATAN PEMBELAJARAN


STRATEGI PEMBELAJARAN

Diajukan Sebagai Persyaratan Perkuliahan






Dosen Pembimbing :
Dra. Husniyatus Salamah Z M.ag



Oleh :
JAMAL
Nim:D57309132
KELAS C



FAKULTAS TARBIYAH JURUSAN PGMI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2010

RESUM PENDEKATAN
PENDEKATAN KONSTRUKTIVISTIK DALAM PEMBELAJARAN
Tulisan ini akan membahas pelbagai pokok pikiran di dalam buku yang membahas tentang pembelajaran berpendekatan konstruktivistik dan berpusat peserta didik. The main ideas tersebut dirumuskan dalam pertanyaan berikut:
PANDANGAN KONSTRUKTIVIS MENGENAI BELAJAR
Satu prinsip terpenting dalam psikologi pendidikan yang melandasi teori belajar konstruktivis adalah bahwa guru tidak bisa memberikan pengetahuan kepada peserta didik dengan begitu saja. Peserta didiklah yang mesti membangun sendiri pengetahuannya. Guru bisa saja menfasilitasi proses ini dengan pelbagai cara mengajar yang membuat informasi lebih bermakna dan relevan dengan kehidupan peserta didik. Misalnya dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi mereka untuk menemukan sendiri informasi dan mengaplikasikannya, atau dengan pembelajaran yang mengupayakan peserta didik memiliki kesadaran untuk menggunakan strateginya sendiri dalam belajar. Di sini guru hanya memberikan kepada mereka tangga-tangga menuju pemahaman yang lebih tinggi, dan peserta didiklah yang harus menaiki tangga-tangga tersebut dengan sendirinya.
Hakikat teori belajar Konstruktivis terletak pada gagasan bahwa pebelajar sendiri yang menemukan dan mengolah pelbagai informasi atau ide-ide yang kompleks menjadi miliknya sendiri. Menurut teori ini, pebelajar selalu memeriksa informasi-informasi baru yang berlawanan dengan aturan-aturan lama, dan memperbaiki aturan-aturan tersebut jika tidak berfungsi lagi.
Pandangan konstruktivis ini memiliki implikasi pada pembelajaran untuk mengupayakan peserta didik sebagai pebelajar aktif. Karenanya strategi konstruktivis ini seringkali disebut student-centered instruction, pembelajaran yang terpusat pada peserta didik.

Akar Sejarah Konstruktivisme
Teori konstruktivisme memiliki akar sejarah yang berujung pada Piaget dan Vygotsky, dua tokoh yang menekankan bahwa perubahan kognitif niscaya terjadi ketika konsepsi lama berlalu dalam proses ketidakseimbangan dengan informasi baru. Selain itu, keduanya juga menekankan pentingnya pembelajaran sosial (social nature learning) dan pemanfaatan pembelajaran berbasis kemampuan campuran (mixed-ability learning) untuk mendukung terjadinya perubahan konseptual.Pemikiran konstruktivis modern tergambar indah dalam teori-teori Vygotsky yang menekankan pada pembelajaran kooperatif, pembelajaran berbasis masalah, dan penemuan.
Berikut ini adalah empat konsep kunci dari Vygotsky yang memainkan peran penting dalam teori konstruktivisme, yaitu: Pertama, Social Learning. Menurut psikolog asal Sovyet ini, anak belajar melalui interaksinya dengan orang dewasa atau teman sebaya yang berkemampuan lebih. Karenanya, dalam kegiatan kooperatif, anak-anak bisa ditampakkan bagaimana proses berpikir teman-teman sebayanya. Metode ini tidak hanya membuat hasil belajar terbuka bagi peserta didik, tetapi juga membuat proses berpikir peserta didik yang lain terbuka bagi seluruhnya. Vygotsky menambahkan bahwa problem-solver yang sukses berbicara pada dirinya sendiri ketika menghadapi masalah-masalah sulit. Dalam kelompok kerjasama, pebelajar bisa mendengar “suara batin” tersebut dengan keras dan darinya mampu belajar bagaimana problem-solver tersebut berpikir dengan pelbagai pendekatannya.
Kedua, yakni jarak antara posisi perkembangan aktual yang dicapai oleh seorang anak di mana tidak mampu menyelesaikan masalah sendirian dengan posisi perkembangan potensial yang dicapainya karena bantuan petunjuk orang dewasa atau melalui kolaborasi bersama teman-teman sebaya yang lebih mampu. Vygotsky menyakini bahwa anak-anak akan belajar dengan baik ketika berada di dalam zona perkembangan proximalnya. Karenanya, proses pembelajaran adalah proses mendekatkan jarak antara kedua posisi perkembangan (aktual dan potensial) tersebut. Jika jarak antara kedunya semakin dekat, itu berarti telah terjadi perkembangan. Pada zone inilah sesungguhnya proses belajar itu terjadi pada diri seorang anak, dan perkembangan dipandang sebagai hasil belajar.
Ketiga, yakni proses magang di mana seorang pebelajar secara bertahap memperoleh keahlian melalui interaksi dengan seorang ahli, apakah ia (ahli itu) orang dewasa, lebih tua, atau sebaya. Dari konsep ini, para teoritisi konstruktivis menganjurkan kepada guru untuk mentranformasikan model pembelajaran ini dalam aktivitas keseharian di ruang kelas dengan melibatkan peserta didik ke dalam tugas-tugas yang kompleks dan menuntun mereka menyelesaikannya.
Keempat, Konsep ini menekankan gagasan dasar bahwa peserta didik sebaiknya dihadapkan pada tugas-tugas yang kompleks, sulit dan realistis kemudian diberi bantuan yang cukup untuk menyelesaikannya. Konsep ini disebut juga situated learning untuk menggambarkan bahwa belajar itu semestinya mengambil tempat pada kehidupan nyata sebagai tugas yang autentik.
Top-Down Processing (Pemrosesan Atas-Bawah)
Pendekatan konstruktivis terhadap pembelajaran lebih menekankan strategi pemrosesan informasi secara top-down daripada bottom-up. Ini artinya bahwa peserta didik dalam pembelajaran dimulai dari permasalahan yang kompleks, komplit, dan autentik untuk dipecahkan hingga berhasil menemukan, dengan dampingan/petunjuk guru, pelbagai keterampilan dasar. Berbeda dengan strategi bottom-up yang biasanya secara bertahap dimulai dari mempelajari keterampilan dasar menuju keterampilan yang lebih kompleks.
Pembelajaran dengan Kerjasama
Pendekatan konstruktivis secara khusus memanfaatkan pembelajaran kooperatif secara luas. Teorinya adalah bahwa peserta didik akan lebih mudah menemukan dan menguasai konsep-konsep yang sulit jika mereka bisa saling berbagi tentang permasalahan yang dihadapi. Selain itu, penekanan pada pembelajaran sosial dan penggunaan kelompok sebaya sebagai model/cara tepat untuk berpikir, mengungkapkan dan menanggulangi miskonsepsi antar peserta didik merupakan elemen kunci dari konsep Piaget dan Vygotsky tentang perubahan kognitif.


Pembelajaran dengan Penemuan
Discovery learning merupakan satu komponen penting dari pendekatan konstruktivis modern yang memiliki sejarah panjang dalam inovasi pendidikan. Di dalam pembelajaran ini, para peserta didik didorong untuk leluasa belajar dengan keterlibatannya secara aktif pada pelbagai konsep dan prinsip. Di sini guru berupaya memotivasi mereka untuk memiliki pengalaman dengan melakukan eksperimen yang memungkinkan mereka menemukan sendiri prinsip-prinsip tersebut. Tentang ini Bruner (1966) mengatakan:
“kita mengajarkan satu bidangstudi tidak untuk menghasilkan pelbagai perpustakaan kecil nan hidup tentang bidangstudi tersebut, tetapi lebih untuk menjadikan peserta didik itu mampu berpikir… bagi dirinya sendiri agar dapat mempertimbangkan layaknya seorang sejarawan, menjadi bagian dari proses membangun pengetahuan. Mengetahui itu proses, bukan produk”
Discovery learning memilki banyak manfaat, di antaranya: mampu menggugah rasa keingin-tahuan para peserta didik; mendorong mereka utuk terus bekerja hatta menemukan jawaban; mereka juga bisa belajar keterampilan problem-solving dan berpikir kritis secara mandiri karena pada pembelajaran ini mereka dituntut untuk melakukan analisis dan rekayasa terhadap informasi. Namun pembelajaran ini juga bisa terjebak dalam kesalahan dan pemborosan waktu. Karenanya, pembelajaran diskoveri-terbimbing (guided discovery learning) lebih dianjurkan daripada diskoveri-murni (pure discovery learning). Pada diskoveri-terbimbing guru dapat berperan lebih aktif: memberi petunjuk, membuat struktur (porsi) aktivitas, hingga menyediakan garis besar (outlines) pikiran.
Pembelajaran Mandiri
Satu konsep kunci teori konstruktivis adalah pandangan tentang peserta didik yang ideal, yakni pebelajar mandiri (Paris & Paris, 2001). Yaitu dia yang memiliki pengetahuan tentang strategi belajar efektif dan bagaimana memanfaatkannya di manapun dan kapanpun (Bandura, 1991; Dembo &Eaton, 2000; Schunk & Zimmerman, 1997; Winne, 1997). Misalnya, dia mengetahui bagaimana memecahkan masalah yang kompleks dengan langkah-langkah yang lebih mudah atau melalui pengujian pelbagai alternatif solusi (Greeno &Goldman, 1998); dia tahu bagaimana dan kapan harus membaca secara skiming dan kapan mesti membaca untuk pemahaman yang mendalam; dia mengerti bagaimana tatacara menulis untuk tujuan persuasif dan bagaimana menulis untuk tujuan informatif (Zimmerman & Kitsantas, 1999). Lebih dari itu, pebelajar mandiri adalah dia yang belajar karena dorongan dari dalam diri, bukan karena ingin naik tingkat atau provokasi orang lain (Boekaerts, 1995; Corno, 1992; Scunk, 1995), dan dia mampu memancangkan tugas jangka panjang hingga benar-benar terselesaikan.
Pembelajaran dengan bantuan
Seperti telah disinggung di awal, scaffolding merupakan tindakan pembelajaran yang didasarkan pada konsep Vygotsky tentang belajar dengan bantuan (assisted learning). Menurut Vygotsky, fungsi mental tertinggi -termasuk kemampuan untuk menfokuskan ingatan/perhatian dan memikirkan pelbagai simbol- adalah prilaku hasil mediasi. Mediasi ini secara eksternal terjadi melalui budaya dan terinternalisasi dalam benak pebelajar sebagai instrumen psikologis.
Pada pembelajaran dengan bantuan atau pembelajaran termediasi (mediated learning), guru menjadi agen budaya yang menghantarkan peserta didik untuk menguasai atau menginternalisasikan keterampilan-keterampilan yang membenarkan fungsi kognitif tertinggi. Kemampuan untuk menginternalisasi instrumen budaya ini bergantung pada usia pebelajar atau tingkat perkembangan kognitifnya.
Pada tataran praktik, termasuk scaffolding adalah memberi peserta didik di awal pembelajaran struktur setting tugas pelajaran dan secara bertahap mengalihkan tanggungjawab sepenuhnya kepada mereka untuk mengerjakannya secara mandiri. Misalnya, pada peserta didik yang sedang belajar membuat pertanyaan umum mengenai materi yang sedang dibaca. Pada permulaan pembelajaran, guru memberikan model dan jenis pertanyaan yang mungkin bisa mereka rumuskan, namun pada tahap selanjutnya merekalah yang mengambil alih tugas pertanyaan umum tersebut.

MEMANFAATKAN COOPERATIVE LEARNING UNTUK PEMBELAJARAN
Di dalam pelbagai metode pembelajaran kooperatif, para peserta didik berkerja bersama dalam kelompok-kelompok kecil untuk saling memberikan bantuan belajar. Ada banyak perbedaan pendekatan dalam model pembelajaran ini. Paling banyak adalah dengan mengelompokkan peserta didik ke dalam empat orang anggota yang beragam kemampuan, namun sebagian ada juga yang mengelompokkan mereka dua-dua, dan sebagian lainnya ke dalam ukuran kelompok yang beragam. Biasanya, para peserta didik didaftar terlebih dahulu dalam kelompok-kelompok kooperatif, dan mereka diminta tinggal bersama dalam kelompoknya selama beberapa pekan atau bulan. Mereka senantiasa didorong untuk memikirkan keterampilan-keterampilan spesifik yang akan membantu mereka bekerjasama dengan baik, seperti mendengar-aktif, menjelaskan, tidak mudah merendahkan orang lain dan sebagainya.
Pelbagai aktivitas pembelajaran kooperatif ini bisa memainkan banyak peranan dalam pelajaran. Setidaknya untuk tiga tujuan berbeda: pertama, peserta didik bekerja sebagai kelompok penemu (discovery group); kedua, setelah pelajaran formal berakhir, mereka bekerja sebagai kelompok diskusi; dan terakhir, mereka memiliki satu kesempatan bekerja bersama untuk memastikan bahwa semua anggota benar-benar telah mempelajari apasaja yang ada di pelajaran tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar